Minggu, 06 Maret 2011

DPR, dialektik dan pertemuan antar ide

DPR, dialektik dan pertemuan antar ide

Kata DPR tentu sangat tidak asing, demikian juga dengan kepanjangannya, DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat (baca : Daerah untuk propinsi dan kabupaten kota). Semua tahu. Tetapi kata “dialektik” adalah sebuah kata yang rasanya aneh di telinga. Sementara “pertemuan antar ide”, adalah sebuah frasa yang jarang didengar, bahkan hampir bisa dibilang ia adalah sebuah frasa asing yang jarang diucapkan. Tetapi anehnya, ia eksis didalam pergulatan-pergulatan penyelesaian persoalan di DPR (D). Sebab ternyata DPR(D) memang dimaksudkan sebagai tempat “pertemuan antar ide”.



Adalah Socrates seorang filsuf kenamaan Yunani kenamaan yang pertama kali menggunakan istilah ini. Socrates yang hidup antara 470 SM hingga 399 SM. Socrates pada waktu hidupnya memiliki pandangan yang bertentangan dengan kepercayaan umumnya masyarakat Yunani saat itu, yakni kepercayaan kepada kuil(oracle) dari dewa-dewa. Ia percaya pada gagasan mengenai gaya tunggal dan transenden yang ada dibalik pergerakan alam ini. Dalam catatan Apology yang ditulis Plato digambarkan bahwa dalam proses pengadilan, Socrates didakwa telah merusak mental para pemuda-pemuda Athena dengan ajarannya tersebut.

Pada masa kejayaannya Socrates kerap kali mendapat perlawanan keras atas idea dan ajarannya dari kaum “sophis” (sebutan sarjana Yunani waktu itu). Metode dialek-kritis (dialektika) adalah metode yang dipakai Socrates dalam menghadapi kelihaian silat lidah kaum “sophis” tersebut. Socrates dengan pemikiran filsafatnya, selalu berusaha untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan ruhaniah. Dua hal itu menurutnya tidak bisa dipisahkan, karena keterkaitan keduanya itulah akhirnya banyak “nilai” yang dihasilkan. Sementara para sophis membawa perubahan pemikiran filsafat yang lebih mengarah pada corak berpikir filsafati yang berbeda. Filsafat Socrates mendasarkan diri atas kosmos (alam semesta) sementara kaum sophis melandaskan pikirannya kepada teori pengetahuan dan etika.

Implikasi dari bertolak belakanya pemikiran filsafat ini sungguh sangat luar biasa. Kekacauan filsafat mulai timbul pada saat para sophis memberikan kriteria yang berbeda tentang dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Mereka tidak memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi ke dua teori tersebut. Mereka hanya mencapai kata sepakat pada satu hal, yaitu kebenaran yang sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai, segala sesuatu hanya bersifat nisbi. Oleh karena itu, harus diragukan kebenarannya (skeptisme).

Nah, dalam situasi kacau itulah kemudian Socrates tampil dan menyelesaikan masalah dengan metode dialek-kritis (dialektika). Proses dialektik ini mengandung arti “dialog antara dua pendirian yang bertentangan” atau juga merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai “pertemuan antar ide”. Metode ini menuntut argumentasi tentang kemampuan para ahli untuk mempertanggungjawabkan pengetahuan dengan alasan yang benar. Maka, ide yang telah teruji akan diterima sebagai pengetahuan yang benar manakala sudah dilakukan pengujian lebih lanjut melalui cara perbandingan.

Berkaca pada sejarah perkembangan filasafat di atas, rasanya tidak berkelebihan jika pengalaman di atas dapat juga diimplementasikan dalam rangka menyelesaikan persoalan kebangsaan saat ini. Begitu banyak persoalan kebangsaan dan kenegaraan (baik pusat maupun daerah) yang tidak terselesaikan dengan baik. Kasus tanah, pedagang kaki lima, ritel vs pedagang tradisonal, pengusaha dan buruh, persoalan petani, kesehatan, pendidikan, perindustrian, semakin lebarnya gap kemiskinan, tidak terselesaikannya pengangguran dan angkatan kerja (termasuk didalamnya sukwan), persoalan-persoalan politik dan lain sebagainya adalah segudang persoalan yang harus dijawab dan diselesaikan.

Kita masih sangat ingat bagaimana ada persoalan-persoalan dicoba diselesaiakan dengan cara-cara anarkis. Kita juga melihat bagaimana diantaranya juga dilakukan dengan dialog-dialog yang konstruktif dan kontributif. Maka sekarang persoalannya, tinggal kita memilih jalan mana yang menurut kita terbaik. Tentu semuanya harus terukur. Dan ukurannya tidak lain adalah ketertiban kenegaraan yang berujung kepada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Apa yang dilakukan Socrates ribuan tahun silam, rasanya masih sangat relevan untuk dilakukan pada saat ini. Dimana para pihak yang berbeda pendirian berargumen atas dasar-dasar kebenaran dan dilakukan dengan cara dialog (dialektik) pada meja yang sama dalam sebuah “pertemuan antar ide” yang konstruktif, yang kalau itu harus melibatkan DPR(D), maka DPR(D) bisa menjadi fasilitator. Akhirnya, semoga bangsa ini menjadi bangsa yang bisa mensejahterakan semuanya, dan khususnya Jember, bisa menjadi Jember yang tidak hanya TERBINA, tetapi juga SEJAHTERA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar