FINANCIAL VALUE ADDED:
SUATU PARADIGMA DALAM PENGUKURAN
KINERJA DAN NILAI TAMBAH PERUSAHAAN
SUATU PARADIGMA DALAM PENGUKURAN
KINERJA DAN NILAI TAMBAH PERUSAHAAN
Salah satu konsep penilaian kinerja keuangan yang sudah mulai banyak ditelaah adalah Economic Value Added (EVA). Sedangkan Konsep nilai tambah perusahaan yang belum banyak dikaji Financial Value Added (FVA). Paper ini akan menjelaskan secara detail bagaimana mengukur kinerja dan nilai tambah perusahaan berdasarkan FVA yang dikaitkan dengan keputusan-keputusan dalam majemen keuangan. Namun sebelumnya akan dijelaskan pengukuran dengan menggunakan rasio keuangan dan EVA.
Setiap perusahaan bertujuan untuk memaksimalkan kekayaan dari pemegang sahamnya. Pengukuran kinerja keuangan perusahaan diperlukan untuk menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan tersebut. Pengukuran kinerja keuangan berdasarkan laporan keuangan banyak dilakukan dengan menggunakan rasio keuangan. Kelebihan pengukuran tersebut adalah kemudahan dalam perhitungannya selama data historis tersedia. Sedangkan kelemahannya adalah metode tersebut tidak dapat mengukur kinerja perusahaan secara akurat. Hal ini disebabkan karena data yang digunakan adalah data akuntansi yang tidak terlepas dari penafsiran/estimasi yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam distorsi sehingga kinerja keuangan perusahaan tidak terukur secara tepat dan akurat.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam pengukuran kinerja keuangan berdasarkan data akuntansi, maka timbullah pemikiran pengukuran kinerja keuangan berdasarkan nilai (value based). Pengukuran tersebut dapat dijadikan dasar bagi manajemen perusahaan dalam pengelolaan modalnya, rencana pembiayaan, wahana komunikasi dengan pemegang saham, serta dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan insentif bagi karyawan (Tunggal 2001). Dengan value based sebagai alat pengukur kinerja perusahaan, manajemen dituntut untuk meningkatkan nilai perusahaan. Pengukuran value added yang telah banyak dikemukakan dalam beberapa tulisan maupunpenelitian adalah Economic Value Added (EVA). Paradigma pengukuran value added yang belum begitu banyak dikemukakan adalah Financial Value Added (FVA). Selain FVA, Net Value Added (NVA) juga merupakan pengukuran value added yang mengukur nilai tambah untuk pemegang saham melalui keputusan investasi perusahaan (Patel dan Cherukuri). Kajian ini hanya akan memaparkan pengukuran value added dengan menggunakan Financial Value Added. Sebelumnya akan diuraikan pengukuran kinerja dengan menggunakan financial ratio dan pengukuran nilai tambah dengan menggunakan Economic Value Added sebagai dasar pembanding.
FINANCIAL RATIO
Metode yang paling sering digunakan untuk mengukur kinerja keuangan adalah financial ratio, yang dianalisis dari laporan keuangan perusahaan. Analisis laporan laporan keuangan dapat dilakukan dengan menghitung berbagai macam rasio. Emery dan Finnerty (1997) mengelompokkan rasio keuangan dalam enam kelompok, yaitu: liquidity ratio, asset activity ratio, leverage ratio, coverage ratio, profitability ratio dan market value ratio.
Penggunaan financial ratio sangatlah penting, terutama dalam analisis fundamental. Analisis ini mencakup keadaan fundamental dari perusahaan yang dianalisis serta industri baik industri perusahaan yang dianalisis maupun industri lain yang terkait. Financial ratio membantu perusahaan dalam mengidentifikasi berbagai kekuatan dan kelemahan perusahaan (Keown 1996:94). Selanjutnya, menurut Keown terdapat dua cara untuk membandingkan data keuangan perusahaan, yakni:
- Dengan analisis trend, yaitu membandingkan financial ratio antar waktu dan
- Dengan analisis comparative, yaitu membandingkan financial ratio suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Kelebihan dari penggunaan financial ratio sebagai pengukur kinerja keuangan adalah karena mudahnya dalam proses perhitungannya, selama data yang dibutuhkan tersedia dengan lengkap. Namun disisi lain terdapat kelemahankelemahan dari financial ratio tersebut yang akan diuraikan pada sesi berikut.
Kelemahan Financial Ratio
Kelemahan dari financial ratio adalah karena perhitungannya berdasarkan data akuntansi. Salah satu kelemahan dari pengukur akuntansi adalah rasio-rasio tersebut dihasilkan dari nilai buku. Dengan demikian, nilainya tidak mencerminkan nilai yang ada di pasar (Yanindya 1998). Misalnya, jika terdapat dua perusahaan yang identik, baik asset maupun struktur modalnya, namun berbeda waktu pendiriannya, maka perusahaan yang lebih dulu berdiri memiliki laba bersih yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang berdirikemudian. Hal ini tentu saja dapat dipahami, karena perusahaan yang lebih dahulu berdiri cenderung memiliki nilai penyusutan lebih yang lebih kecil.
Distorsi lain dari penggunaan data akuntansi adalah penggunaan metode penyusutan maupun metode dalam menilai persediaan (Fransiska dan Rr.Iramani 2004). Metode penyusutan saldo menurun akan menghasilkan laba bersih lebih besar pada akhir umur ekonomis aktiva sedangkan metode garis lurus untuk penyusutan aktiva akan mengakibatkan biaya penyusutan yang relatif stabil sepanjang umur aktiva tersebut. Dalam kondisi dimana harga barang cenderung naik, penggunaan LIFO dalam menilai persediaan akan menyebabkan beban pokok penjualan menjadi rendah sehingga pajak dan laba perusahaan juga akan terpengaruh, akibat penggunaan metode ini.
Dari uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa penggunaan metode yang berbeda baik metode penyusutan maupun metode dalam menilai persediaan antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lainnya akan menghasilkan keuntungan yang berbeda pula. Sehingga sulit membandingkan kinerja suatu perusahaan dengan menggunakan financial ratio manakala perusahaan yang diperbandingkan menggunakan metode yang berbeda. Akibatnya pengukuran kinerja dengan rasio-rasio berdasarkan laporan keuangan tidak menghasilkan nilai pengukuran yang akurat. Accounting profit tidak mencerminkan dengan baik economic profit dari suatu perusahaan.
ECONOMIC VALUE ADDED (EVA)
Metode EVA pertama kali dikembangkan oleh Stewart & Stern seorang analis keuangan dari perusahaan Stern Stewart & Co pada tahun 1993. Di Indonesia metode tersebut dikenal dengan metode NITAMI (Nilai Tambah Ekonomi). EVA/NITAMI adalah metode manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta manakala perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi dan biaya modal (Tunggal 2001). EVA merupakan tujuan perusahaan untuk meningkatkan nilai atau value added dari modal yang telah ditanamkan pemegang saham dalam operasiperusahaan. Oleh karenanya EVA merupakan selisih laba operasi setelah pajak (Net Operating Profit After Tax atau NOPAT) dengan biaya modal (Cost of Capital).
Manfaat EVA
Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan dalam menggunakan EVA sebagai alat ukur kinerja dan nilai tambah perusahaan. Menurut Tunggal (2001) beberapa manfaat EVA dalam mengukur kinerja perusahaan antara lain:
- EVA merupakan suatu ukuran kinerja perusahaan yang dapat berdiri sendiri sendiri tanpa memerlukan ukuran lain baik berupa perbandingan dengan menggunakan perusahaan sejenis atau menganalisis kecenderungan (trend)
- Hasil perhitungan EVA mendorong pengalokasian dana perusahaan untuk investasi dengan biaya modal yang rendah.
- EVA dapat digunakan sebagai penilaian kinerja keuangan perusahaan karena penilaian kinerja tersebut difokuskan pada penciptaan nilai (value creation)
- EVA akan menyebabkan perusahaan lebih memperhatikan kebijakan struktur modal
- EVA membuat manajemen berpikir dan bertindak seperti halnya pemegang saham yaitu memilih investasi yang memaximumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaan dapat dimaximalkan dan
- EVA dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kegiatan atau proyek yang memberikan pengembalian lebih tinggi daripada biaya-biaya modalnya.
Selain manfaat yang telah dijelaskan diatas, EVA merupakan pengukuran yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai signal terjadinya Financial Distress pada suatu perusahaan (Salmi & Virtanen 2001). Jika suatu perusahaan tidak dapat memperoleh profit di atas required of return, maka EVA akan menjadi negatif, dan hal ini merupakan warning akan terjadinya Financial Distress bagi perusahaan tersebut.
Pengukuran EVA
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur EVA, tergantung dari struktur modal dari perusahaan (Velez 2000). Apabila dalam struktur modalnya perusahaan hanya menggunakan modal sendiri, secara matematis EVA dapat ditentukan sebagai berikut :
EVA = NOPAT – (ie x E) (1)
di mana:
NOPAT= Net Operating Profit After Taxes
ie = opportunity cost of equity
E = Total Equity
Namun, manakala dalam strukutur perusahaan terdiri dari hutang dan modal sendiri, secara matematis EVA dapat dirumuskan sebagai berikut:
EVA = NOPAT – (WACC x TA) (2)
di mana :
NOPAT= Net Operating Profit After Taxes
WACC = Weighted Average Cost of Capital
TA = Total Asset (Total Modal)
Dari perhitungan akan diperoleh kesimpulan dengan interprestasi hasil sebagai berikut:
Jika EVA > 0 hal ini menunjukkan terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
Jika EVA < 0 hal ini menunjukkan tidak terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
Jika EVA = 0 hal ini menunjukkan posisi impas karena laba telah digunakan untuk membayar kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur maupun pemegang saham.
Cost of Capital
Cost of Capital atau biaya modal mempunyai dua makna, tergantung dari sisi investor atau perusahaan. Dari sudut pandang investor cost of capital adalah opportunity cost dari dana yang ditanamkan investor pada suatu perusahaan. (Keown 1999). Sedangkan, dari sudut pandang perusahaan, cost of capital adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh sumber dana yang dibutuhkan. Untuk praktisi keuangan, istilah cost of capital ini digunakan sebagai: (1) discount rate untuk membawa cash flow pada masa mendatang suatu project ke nilai sekarang (2) tarif minimum yang diinginkan untuk menerima project baru (3) biaya modal dalam perhitungan EVA dan (4) benchmark untuk menaksir tarif biaya pada modal yang digunakan. Pada umumnya komponen cost of capital terdiri dari cost of debt dan cost of equity (Utomo 1999)
Cost of Debt
Hutang dapat diperoleh dari lembaga pembiayaan atau dengan menerbitkan surat pengakuan hutang (obligasi). Biaya hutang yang berasal dari pinjaman adalah merupakan bunga yang harus dibayar perusahaan, sedangkan biaya hutang dengan menerbitkan obligasi adalah required of return yang diharapkan investor yang digunakan untuk sebagai tingkat diskonto dalam mencari nilai obligasi. Mengingat biaya hutang (bunga) dibayar sebelum perusahaan memperhitungkan pajak pnghasilan (tax deductible), maka biaya riil yang ditanggung perusahaan adalah biaya hutang setelah pajak (cost of debt after tax).
Biaya hutang = kd
Biaya hutang setelah pajak = kd* = kd (1-t) (3)
di mana :
kd* : biaya hutang setelah pajak
kd : biaya hutang sebelum pajak
t : tarif pajak
Cost of Equity
Biaya modal saham merupakan tingkat hasil pengembalian atas saham biasa yang diinginkan oleh para investor. Menurut Weston dan Copeland (1992), salah satu metode yang dapat digunakan dalam perhitungan biaya modal laba ditahan, yaitu pendekatan capital asset pricing model (CAPM), dimana biaya modal laba ditahan adalah tingkat pengembalian atas modal sendiri yang diinginkan oleh investor yang terdiri dari tingkat bunga bebas resiko dengan premi resiko pasar dikalikan dengan β (resiko saham perusahaan). Secara matematis dapat ditulis ks dapat dicari dengan rumus :
ks = Rf + ( Rm – Rf ) β (4)
di mana:ks : tingkat pengembalian yang diinginkan investor (opportunity of equity)
Rf : tingkat bunga investasi yang diperoleh tanpa resiko (risk free)
R : tingkat bunga investasi rata – rata dari pasar
β : ukuran resiko saham perusahaan
Weighted Average Cost of Capital (WACC)
Dalam praktek, pembiayaan/pendanaan yang digunakan perusahaan diperoleh dari berbagai sumber. Dengan demikian biaya riil yang ditanggung oleh perusahaan merupakan keseluruhan biaya untuk semua sumber pembiayaan yang digunakan, dimana perhitungannya dapat menggunakan rumus berikut (Weston dan Copeland 1992):
WACC = Wd. kd (1 – t) + Ws. Ks (5)
di mana:
WACC : biaya modal rata – rata tertimbang
Wd : proporsi hutang dalam struktur modal
kd : cost of debt
Ws : proporsi saham biasa dalam struktur modal
ks : tingkat pengembalian yang diinginkan investor
Keunggulan dan Kelemahan EVA
Salah satu keunggulan EVA sebagai penilai kinerja perusahaan adalah dapat digunakan sebagai penciptaan nilai (value creation). Keunggulan EVA yang lain adalah:
- EVA memfokuskan penilaian pada nilai tambah dengan memperhitungan beban sebagai konsekuensi investasi
- Konsep EVA adalah alat perusahaan dalam mengukur harapan yang dilihat dari segi ekonomis dalam pengukurannya yaitu dengan memperhatikan harapan para penyandang dana secara adil dimana derajat keadilan dinyatakan dengan ukuran tertimbang dari struktur modal yang ada dan berpedoman pada nilai pasar dan bukan pada nilai buku
- Perhitungan EVA dapat dipergunakan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding seperti standar industri atau data perusahaan lain sebagai konsep penilaian
- Konsep EVA dapat digunakan sebagai dasar penilaian pemberian bonus pada karyawan terutama pada divisi yang memberikan EVA lebih sehingga dapat dikatakan bahwa EVA menjalankan stakeholders satisfaction concepts dan
- Pengaplikasian EVA yang mudah menunjukkan bahwa konsep tersebut merupakan ukuran praktis, mudah dihitung dan mudah digunakan sehingga merupakan salah satu bahan pertimbangan dalam mempercepat pengambilan keputusan bisnis.
Selain berbagai keunggulan, konsep EVA juga memiliki kelemahan-kelemahan.
Menurut Mirza (1997) kelemahan-kelemahan tersebut antara lain :- EVA hanya mengukur hasil akhir (result), konsep ini tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentu
- EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat mengandalkan pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil keputusan untuk menjual atau membeli saham tertentu padahal faktor-faktor lain terkadang justru lebih dominan.
Financial Economic Value Added atau lebih singkat disebut Financial Value Added (FVA) merupakan metode baru dalam mengukur kinerja dan nilai tambah perusahaan. Metode ini mempertimbangkan kontribusi dari fixed assets dalam menghasilkan keuntungan bersih perusahaan. Secara matematis pengukuran FVA dinyatakan sebagai berikut (Rodriquez 2002):
FVA = NOPAT – (ED – D) (6)
di mana:
FVA = Financial Value Added
NOPAT = Net Operating Profit After Taxes
ED-D = Equivalent Depreciation – Depreciation
Interpretasi dari hasil pengukuran FVA dapat dijelaskan sebagai berikut:
Jika FVA > 0 hal ini menunjukkan terjadi nilai tambah finansial bagi perusahaan.
Jika FVA < 0 hal ini menunjukkan tidak terjadi nilai tambah financial bagi perusahaan.
Jika FVA = 0 hal ini menunjukkan posisi impas.
Perusahaan tentunya akan berusaha untuk memiliki nilai tambah financial bagi perusahaan dimana FVA > 0, hal ini terjadi manakala keuntungan bersih perusahaan dan penyusutan dapat mengcover equivalent depreciation atau (NOPAT+D) lebih besar dari ED. Jika ini tercapai maka perusahaan dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham karena NPV akan bernilai positif. Dengan menggunakan konsep Break Even Point (BEP), maka berdasarkan pengukuran FVA di atas, dapat diketahui pada tingkat penjualan berapa unit
perusahaan akan mencapai BEP. Dari interpretasi FVA telah diketahui bahwa perusahaan menunjukkan posisi impas pada saat FVA = 0. Dengan demikian break even point dari FVA dapat dihitung sebagai berikut (Rodriguez 2002):
{( ) (1 )} { } 0
( ) 0
− − − − − − =
= − − =
PxQ VCxQ FC D x t ED D
FVA NOPAT ED D
(1 )
(1 ) (1 ) ( )
mx t
Q FCx t D t ED D
−
− + − + −
=
(1 )
(1 )
Q FCx t ED txD
mx t
− + −
=
−
(7)
di mana:
Q = unit yang dapat dijual
FC = fixed cost
t = tingkat pajak
m = unit margin
D = depreciation
ED = equivalent depreciation
Hubungan FVA dengan Keputusan dalam Manajemen Keuangan
Pengukuran FVA sangatlah membantu perusahaan dalam kaitannya dengan keputusan-keputusan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Hubungan antara pengukuran FVA dengan keputusan dalam manjemen keuangan dapat digambarkan sebagai berikut:
xTR
n
FVA gmc
n k
+
∂
= − 1 1
,
FVA = [(PxQ – VCxQ – FC) x (1-t)] -
1 1
,
tx xTR
n k n
+ ∂
MEASURE OPERATING FINANCING INVESTMENT
Sales growth Working Capital & Fixed Capital
VALUE Operating income tax rate investment
DRIVERS profit margin
Cost Of Capital
DECISION
(Sumber: Rodriguez 2002)
Gambar 1. Hubungan Antara FVA – Value Driver – Types of Decision Total Resources (TR) adalah total sumber dana (capital) perusahaan, yang terdiri dari Long Term Debt dan Total Equity. Berdasarkan gambar 1, dapat dijabarkan sebagai berikut: terdapat tiga (3) keputusan dalam manajemen keuangan yang akan menjadi value drivers bagi terciptanya Financial Value Added. Ketiga keputusan tersebut adalah:
- Operating Decision adalah suatu keputusan yang harus diambil perusahaan dalam menghasilkan volumepenjualan dan mengelola biaya-biaya yang timbul baik variable cost maupun fixed cost sedemikian rupa sehingga menghasilkan operating profit margin bagi perusahaan. Pertumbuhan volume penjualan (sales growth) merupakan indikator dari pertumbuhan perusahaan yang ini merupakan value drivers bagi terciptanya Financial Value Added. Dengan sales growth yang tinggi dan income tax rate tertentu akan meningkatkan operating profit margin yang pada akhirnya financial value added diharapkan juga akan meningkat.
- Financing Decision adalah suatu keputusan pembiayaan perusahaan dimana perusahaan harus menentukan sumber dana yang paling efisien, yang direfleksikan oleh cost of capital (k) yang dibayarkan selama periode n. Cost of capital ini kemudian menjadi factor pembagi terhadap nilai income yang diterima (δn,k). Dalam konteks value driver, semakin rendah cost of capital yang ditanggung oleh perusahaan maka semakin besar nilai per 1 sen uang yang diterima oleh perusahaan. Konsekuensinya, pada formula measure, semakin kecil cost of capital, semakin besar δn,k, sehingga semakin besar nilai FVA
- Investment Decision, adalah keputusan manajemen terhadap pilihan-pilihan investasi yang secara normatif harus mampu memaksimalkan nilai perusahaan. Proses pemilihan alternatif investasi harus mempertimbangkan sumber-sumber pendanaan yang terlibat, karena akan mempengaruhi struktur modal perusahaan. Hal ini secara intuitif, hal ini juga mempengaruhi komposisi working capital dan fixed capital yang merupakan komponen pengubah nilai dalam konteks pengukuran FVA di atas. Manajemen harus bisa mengoptimalkan pengelolaan working capital dan fixed capital-nya agar tidak tercipta idle capital atau kapital yang kurang efektif dalam proses peningkatan nilai perusahaan. Otomatis, jumlah working capital dan fixed capital yang besar akan menciptakan tanggungan cost of capital yang lebih besar bagi perusahaan. Ini juga akan menurunkan nilai FVA, karena TR menjadi besar.
Kelebihan FVA dibanding EVA adalah :
- Jika ditilik ulang konsep NOPATD, FVA melalui definisi Equivalent Depreciation mengintegrasikan seluruh kontribusi aset bagi kinerja perusahaan, demikian juga opportunity cost dari pembiayaan perusahaan. Kontribusi ini konstan sepanjang umur proyek investasi
- FVA secara jelas mengakomodasi kontribusi konsep value growth duration (durasi proses penciptaan nilai) sebagai unsur penambah nilai. Unsur ini merupakan hasil pengurangan nilai Equivalent Depreciation akibatbertambah panjangnya umur aset dimana aset bisa terus berkontribusi bagi kinerja perusahaan. Dalam konsep EVA, proses ini tidak secara jelas dijabarkan
- FVA mengedepankan konsep Equivalent Depreciation dan Accumulated Equivalent tampaknya lebih akurat menggambarkan financing costs. Lebih lanjut, FVA mampu mengharmonisasikan hasilnya dengan konsep NPV tahun per tahun, dimana NPV setidaknya saat ini dianggap sukses mengukur proses penciptaan nilai
- Dengan berbasis pada definisi EVA yang sudah dikenal luas, FVA memberi solusi terhadap mekanisme kontrol dalam periode tahunan, yang selama ini merupakan kendala bagi konsep NPV. EVA dan FVA sama-sama mampu menyelaraskan output-nya dengan hasil NPV, dalam bentuk periode yang terdiskonto, namun FVA memberi output yang lebih maju dengan berhasil
- melakukan harmonisasi hasil dengan NPV dalam ukuran tahunan. Oleh karena itu, FVA menjadi lebih bermanfaat sebagai alat kontrol.
Dibanding EVA, FVA kurang praktis dalam mengantisipasi fenomena bila perusahaan (proyek) menjalankan investasi baru di tengah-tengah masa investasi yang diperhitungkan. EVA akan merefleksikan situasi ini melalui
peningkatan aset dan sumber daya yang terlibat dalam perusahaan atau proyek (Shrieves dan Wachowicz 2000). Fenomena ini tidak bisa diakomodasi dalam penentuan titik impas pada konsep NPV dan FVA.
KESIMPULAN
Kinerja FVA jelas lebih baik dibanding EVA, terutama dalam hal sinkronisasi hasil pengukurannya dengan hasil NPV. Kelemahan FVA dalam mengantisipasi terjadinya rekrutmen investasi baru di tengah horison masa
investasi yang sudah ditetapkan sebenarnya bisa ditanggulangi dengan merancang ulang definisi konsep Equivalent Depreciation menjadi akumulasi Equivalent Depreciation dari berbagai investasi yang dijalankan, kemudian setiap elemen investasi tersebut masing-masing dihubungkan horison masa investasi secara individual. Misalnya, sebuah perusahaan dengan berbagai investasi dalam kurun waktu tahun 1 hingga n, dimana diasumsikan setiap investasi dimulai sedemikian rupa di awal setiap periode sehingga investasi-investasi yang berlangsung pada tahun 1 akan berlangsung selama n tahun, sedangkan yang dimulai pada tahun 2 akan berumur n-2 tahun, dan seterusnya. Equivalent Depreciation individual merupakan jumlah dari masing-masing nilai investasi awal yang terdiskonto oleh jumlah tahun dan tingkat diskonto terkait masing-masinginvestasi. (sumber Iramani, Financial Value Added)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar